INSPIRASI DARI JATIMULYO, DESA RAMAH BURUNG DI KAKI PEGUNUNGAN

Punya Bapak Angkat yang All Out Kawal Burung 

Nasional | Senin, 06 Januari 2020 - 10:26 WIB

Punya Bapak Angkat yang All Out Kawal Burung 
KELESTARIAN BURUNG: Dari kiri, Mardiyanta, Kelik, dan Asman yang aktif menjaga kelestarian burung menjadi teladan warga lainnya. (Folly akbar/jpG)

KULONPROGO (RIAUPOS.CO) -- Kombinasi apik pemerintah desa dengan masyarakat berhasil melestarikan 101 spesies burung di Desa Jatimulyo. Selain lingkungan yang lebih asri, konservasi burung membawa nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar.

Baliho yang banyak terpasang di pinggir jalan menyambut siapa pun yang memasuki kawasan Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo. Semakin masuk ke dalam, baliho semakin banyak. Namun, bukan baliho tokoh politik layaknya di musim pemilu. Melainkan baliho peringatan untuk tidak berburu burung.


Warga desa yang tinggal di bawah Pegunungan Menoreh itu memang sudah sejak beberapa tahun terakhir mendeklarasikan diri untuk berperang melawan perburuan burung. Perlawanan tersebut diperkuat dengan Peraturan Desa (Perdes) Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Dalam perdes tersebut, menangkap burung ditetapkan sebagai aktivitas terlarang di Jatimulyo. Siapa pun yang nekat melakukannya, sanksi berlapis harus dihadapi. "Peringatan dulu, kalau diulangi lagi, ya bayar denda," kata Sekretaris Desa Jatimulyo Mardiyanta saat ditemui JPG, Senin lalu (30/12). Dendanya pun bisa mencapai Rp10 juta.

Mardiyanta menceritakan awal mula dikeluarkannya perdes itu. Hal tersebut tak lepas dari kondisi alam yang semakin lama kian mengkhawatirkan. Burung-burung makin jarang ditemui. "Dulu waktu saya kecil, di sini banyak suara burung. Tapi tahun 2012-an sudah tidak terdengar lagi," ujarnya. 

Keresahan itu rupanya juga dirasakan warga lain. Kerinduan pada masa lalu yang asri berkelindan di benak warga desa. Apalagi, ada fakta yang lebih menyakitkan. Yakni, sebagian besar burung yang hilang dari keseharian warga diambil pemburu dari desa lainnya. "Maka, keluarlah perdes ini," imbuhnya.

Setelah perdes diterbitkan, sosialisasi digalakkan. Baik melalui baliho maupun dari mulut ke mulut. Masyarakat diajak untuk saling menjaga. Saat ini lebih dari 100 relawan menjadi "polisi burung". Jika melihat gerak-gerik pemburu, mereka akan menindaknya.

Tiga tahun usai diberlakukannya perdes tersebut, hasilnya mulai kelihatan. "Sekitar tahun 2017, suara burung mulai terdengar lagi," imbuhnya, lantas tersenyum. Pada akhir 2019, populasi burung di Jatimulyo terus meningkat. Saat ini sudah ada 101 spesies burung yang dapat ditemukan di desa yang memiliki luas 1.609 hektare tersebut. Di antaranya, burung perkutut jawa, walik kembang, udang api, celepuk reban, wiwik lurik, cucak kuning, empuloh janggut, dan kancilan bakau. Ada juga berbagai elang langka yang ditemukan kembali di kampung tersebut. Misalnya, elang hitam, elang ular bido, dan elang alap jambul.

Untuk mengonsolidasikan pelestarian burung, tempat semacam konservasi pun dibuat. Namanya Kopi Sulingan. Sulingan merupakan salah satu spesies burung khas Kulonprogo. Uniknya, konservasi tersebut diisi para mantan pemburu burung yang sudah insaf. Salah satunya Kelik Suparno. Lelaki paruh baya itu mengaku insaf karena muncul kesadaran akan bahaya dari aktivitas berburunya. "Burungnya cepat habis," ujar dia saat ditemui di Kopi Sulingan.

Bersama sejumlah pegiat lainnya, Kelik memimpin upaya pelestarian burung di Jatimulyo. Namun, jangan dibayangkan seperti kebun binatang, yakni burung-burung disangkarkan. "Di sini burung-burung dibiarkan di alam liar," imbuhnya.

Meski demikian, upaya perlindungan tetap dilakukan para pegiat burung di Kopi Sulingan. Untuk meningkatkan pengawasan, Kelik dan kawan-kawan menciptakan sebuah sistem bernama adopsi. Sistem itu mirip "bapak angkat" bagi burung. Bapak angkat bertugas menjaga burung sejak bertelur, menetas, sampai anak burung tumbuh besar dan bisa terbang.(*/c10/oni/jpg)

Laporan FOLLY AKBAR, Kulonprogo









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook